Dari Pahit ke Manis: Dembélé dan Politik Kehidupan
- By REDAKSI --
- Tuesday, 23 Sep, 2025
Oleh: Aril (Ari Loru)
Seperti secangkir kopi hitam yang terlalu panas untuk segera diteguk, perjalanan Ousmane Dembélé adalah kisah tentang jeda, luka, dan kesabaran. Cedera yang berulang-ulang menjadikannya bahan cibiran, bahkan dianggap beban. Banyak yang tak sabar lalu meninggalkannya. Tetapi malam di Paris membuktikan, kesabaran yang dulu dicemooh justru berbuah cahaya: Ballon d’Or kini ada di tangannya.
Kisah Dembélé bukan semata tentang sepak bola. Ia adalah refleksi politik kehidupan: setiap luka butuh waktu, setiap jatuh butuh bangkit, dan setiap janji menuntut kesabaran. Dalam ruang publik yang gaduh baik stadion maupun parlemen, ia mengingatkan bahwa kekuatan sejati tak selalu lahir dari kecepatan, melainkan dari keteguhan hati menunggu momen yang tepat.
Di ruang ganti, para rekannya menyambutnya dengan sukacita. Kylian Mbappé menyebutnya “simbol kesetiaan pada mimpi.” Lionel Messi, mantan rekan di Barcelona, menegaskan bakat itu sudah ia lihat sejak awal. Luis Enrique menambahkan, “Ia bukti bahwa stigma bisa ditaklukkan dengan kerja keras.” Kemenangan ini pun terasa bukan sekadar milik individu, melainkan milik sebuah kolektivitas.
Lebih jauh, trofi ini menyimpan pesan sosial. Dembélé lahir dari keluarga imigran, tumbuh dengan identitas ganda yang kerap diragukan di tanah kelahirannya. Politik Eropa berulang kali menjadikan isu imigran sebagai bahan pertarungan: diterima atau ditolak, dipeluk atau dijauhi. Kini, anak dari pinggiran justru mengangkat martabat bangsanya di panggung dunia. Sebuah sindiran manis bagi politik yang masih gemar membeda-bedakan.
Ballon d’Or yang biasanya akrab dengan nama-nama besar seperti Messi, Ronaldo, atau Mbappé, kini terasa lebih “manusiawi.” Dembélé bukan sosok sempurna. Ia rapuh, sering jatuh, penuh keraguan. Namun justru itu yang membuat trofi ini berharga. Ia mengingatkan bahwa sistem baik dalam sepak bola maupun politik tak bisa selamanya bertumpu pada wajah lama. Kadang, yang dianggap rapuh justru bisa menopang masa depan.
Jika sepak bola adalah secangkir kopi, maka kemenangan Dembélé adalah aroma manis setelah pahit terlalui. Para penggemar yang dulu mencibir kini menitikkan air mata haru. Mereka sadar, pahit dan manis memang harus berpasangan agar hidup terasa utuh. Sama halnya dengan bangsa yang sedang diuji: krisis dan luka adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan politik.
Di luar stadion, euforia kemenangan ini bergema laksana arus politik menjelang pemilu. Ia menjadi simbol bahwa rapuh bukan berarti kalah, jatuh bukan berarti tamat. Negeri-negeri yang tersandung pun bisa bangkit, asal ada kesabaran dan arah yang jelas. Sepak bola, sebagaimana demokrasi, selalu membutuhkan pemain yang berani menanggung luka demi kolektivitas.
Sejarah selalu menyimpan kejutan. Siapa sangka pemain yang dulu dicap “beban” kini menorehkan tinta emas? Sama seperti politik: yang diremehkan bisa menjelma pemimpin, yang dianggap pinggiran bisa menjadi pusat. Inilah politik kehidupan, tempat kejutan sering kali lebih indah daripada prediksi.
Kini, Dembélé tidak hanya menang di panggung Ballon d’Or, tetapi juga di mata dunia. Ia memberi pelajaran bahwa setiap manusia berhak atas kesempatan kedua, ketiga, bahkan kesepuluh. Hidup, sebagaimana demokrasi, tidak berhenti pada satu periode. Selalu ada waktu tambahan, selalu ada ruang untuk membalikkan keadaan.
Dan pada akhirnya, nama Dembélé akan dikenang bukan semata karena piala emas yang ia genggam, tetapi karena kisah yang ia tulis: dari cedera ke cedera, dari pahit ke manis, hingga menjadi cahaya yang indah. Seperti kopi di meja pagi, ia mengingatkan kita: pahit bukan untuk ditakuti, pahit adalah jalan menuju manis. Dan ia baru saja membuktikannya di panggung paling megah sepak bola dunia. (***)
