AKR dan PSI: Nafas Baru Politik Sigi

Oleh: Ari Loru

Politik lokal di Sigi kini berada pada persimpangan jalan. Setelah sekian lama ruang demokrasi dikuasai wajah-wajah lama dengan pola yang nyaris stagnan, kini muncul dorongan kuat untuk melakukan regenerasi. Perubahan itu tak lagi bisa ditunda, sebab masyarakat semakin kritis dan menuntut politik yang lebih segar, transparan, serta relevan dengan kebutuhan sehari-hari.

Di titik inilah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencoba mengambil peran. Sebagai partai yang dikenal dengan semangat muda dan progresif di tingkat nasional, kehadirannya di Sigi membawa harapan baru. Figur Adi Kabarani Repadjori (AKR) tampil bukan sekadar kader, tetapi simbol perlawanan terhadap kejenuhan politik lokal. Ia hadir dengan energi baru, menawarkan jalan alternatif di tengah kebuntuan tradisi lama.

Nama AKR muncul sebagai sosok yang dipercaya mampu membawa perubahan. Ia bukan hanya wajah baru, melainkan representasi dari harapan baru. Dalam tubuh politik lokal yang kerap tersandera wajah usang, kehadiran AKR menjadi angin segar yang diharapkan bisa menggugah energi generasi baru.

Kopi akan hambar jika hanya diaduk tanpa pernah dituang. Begitu pula gagasan politik, ia akan basi bila tak diwujudkan dalam tindakan nyata. AKR hadir dengan janji memperluas ruang partisipasi, terutama bagi kaum muda yang selama ini lebih banyak menjadi penonton ketimbang pelaku.

“Kami ingin politik ini ramah untuk semua, bukan hanya milik elite. Politik harus dekat, sederhana, tapi punya arah,” ujar AKR dalam sebuah pertemuan warga di Dolo.

Sigi adalah tanah dengan sejarah panjang: penuh luka akibat bencana, tapi juga penuh daya juang warganya. Di sinilah AKR mencoba menancapkan pijakan politiknya, bukan untuk menguasai, melainkan untuk melayani. Ia ingin menunjukkan bahwa politik bisa seindah secangkir kopi susu sore hari menenangkan, meski tetap ada pahit yang tak bisa dihindari.

PSI sendiri memang bukan lahir dari akar tradisional politik Sigi. Ia adalah pendatang, dan justru itulah yang membuatnya berani tampil berbeda. AKR menyadari bahwa keberanian tanpa arah hanyalah keriuhan, sedangkan arah tanpa keberanian hanyalah mimpi kosong. Karena itu, ia berusaha memadukan keduanya: gagasan progresif dengan langkah nyata di lapangan.

Tentu, perjalanan ini tidak mudah. Politik lokal sarat intrik, sementara loyalitas warga kerap terikat pada nama besar atau janji pragmatis. Namun, di situlah tantangan AKR dan PSI: meyakinkan publik bahwa perubahan bukan sekadar slogan, melainkan kebutuhan mendesak. Bahwa regenerasi politik bukan pilihan, melainkan keniscayaan.

Di sebuah warung kopi di Palolo, seorang petani muda berkata lirih: “Kami butuh figur baru yang mau mendengar, bukan hanya datang saat kampanye. Kalau AKR bisa konsisten, saya yakin anak-anak muda di desa akan ikut bergerak.” Suara sederhana ini menegaskan bahwa rakyat tidak menuntut banyak, mereka hanya ingin didengar dan dilibatkan.

Bersama AKR, PSI mencoba membangun “rumah baru” di Sigi. Rumah yang pintunya terbuka lebar bagi siapa saja yang mau terlibat, tanpa sekat generasi dan tanpa tembok antara elit dan rakyat. Konsep ini sederhana, tapi justru kesederhanaanlah yang membuat politik kembali relevan.

Di tengah hiruk-pikuk politik lokal, kehadiran AKR bisa diibaratkan seperti barista muda yang percaya diri meracik kopi di antara warung-warung lama. Resepnya mungkin berbeda, bahkan asing, tetapi justru itu yang bisa membuat orang kembali tertarik untuk duduk, menyeruput, dan menikmati politik dengan cara baru.

Pada akhirnya, politik di Sigi bukan semata soal siapa yang menang dalam kontestasi. Lebih dari itu, ia adalah soal siapa yang bisa memberi arti dalam perjalanan sosial masyarakatnya. Kehadiran AKR bersama PSI adalah undangan untuk menyeruput kopi politik dengan cara baru: lebih berani, lebih jujur, dan tentu lebih segar. Dari situlah, mungkin, nafas baru Sigi benar-benar akan dimulai.


Comment As:

Comment (0)