Dr. Johnny Salam, Dalam Kenangan

FOTO : Dr. Johnny Salam, SH.,MH, Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako periode 2013-2017. (Dok/Ist)

PALU, Sararamedia.id - Sekitar pukul 13.00 WIB, Kamis, 28 Agustus 2025, kabar duka itu datang. Bukan sekadar informasi, melainkan hentakan batin yang mengguncang kesadaran. Dr. Johnny Salam, seorang guru, dosen teladan, sekaligus penjaga marwah intelektual di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, telah berpulang ke hadirat Sang Khalik.

Dalam sekejap, waktu seakan berhenti. Wajahnya yang teduh sekaligus tegas, suara mantap penuh keyakinan, dan langkahnya yang tegak meski dunia kerap goyah, terlintas jelas di ingatan. Kematian memang selalu datang tiba-tiba, dan kali ini ia merenggut sosok yang bagi saya bukan sekadar akademisi, melainkan cahaya penuntun dalam perjalanan intelektual.

Nama Dr. Johnny Salam telah lama identik dengan integritas. Di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Tadulako, beliau bagaikan benteng penjaga kehormatan akademik dari degradasi moral. Beliau dikenal teguh menentang plagiarisme dan praktik joki tugas akhir. Baginya, plagiarisme bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Bersama sahabat karibnya, Dr. Ridwan Tahir, beliau menjaga standar akademik dengan konsistensi luar biasa. Keduanya adalah pilar yang memastikan kampus bukan sekadar tempat mengejar gelar, melainkan ruang pembentukan nilai, akal, dan moral.

Di tengah dunia pendidikan yang kerap digoda kompromi, Dr. Johnny memilih jalan yang tidak mudah. Ia tegas, meski kadang membuatnya tak populer. Namun justru ketegasan itulah yang melahirkan hormat, baik dari kawan maupun lawan. Inilah ciri intelektual sejati: tidak mencari popularitas, tetapi berdiri di sisi kebenaran.

Saya pertama kali bertemu beliau pada 2016, saat beliau menjabat Dekan Fakultas Hukum. Sebagai mahasiswa muda, saya memandangnya penuh kagum sekaligus segan. Wajah tegas, tatapan tajam, suara berat nan berwibawa itulah kesan pertama saya. Namun seiring waktu, di balik ketegasan itu, tersingkap hati yang lembut, sebening embun pagi. Ia bisa menegur dengan keras, lalu menenangkan dengan kasih. Ia bisa menolak tegas, namun menjelaskan dengan sabar. Dari beliau saya belajar: ketegasan bukanlah kekerasan hati, melainkan cara menjaga agar nilai luhur tak hilang dari ingatan.

Pertemuan terakhir kami masih membekas. Beberapa bulan lalu, kami makan malam bersama di sebuah restoran Padang di Jakarta Pusat bersama Dr. Ridwan, istri almarhum, dan Kak Muhammad Rizal. Malam itu berlanjut dengan perbincangan lebih dari lima jam di sebuah kafe hotel. Obrolan kami melintasi banyak hal: integritas, dunia hukum, perjalanan akademik, hingga kisah lucu saat beliau menempuh S3 bersama Dr. Ridwan. Saat itu saya melihatnya bukan hanya sebagai akademisi, melainkan sahabat—rendah hati, penuh humor, sekaligus penuh empati.

Beberapa waktu kemudian, kami sempat ngopi singkat di Makareem Café, tepat di depan Rumah Sakit Anutapura. Siapa sangka, rumah sakit itu kelak menjadi tempat beliau menghembuskan napas terakhir. Pertemuan singkat itu ternyata adalah perjumpaan terakhir kami.

Dalam dunia hukum pidana, nama Dr. Johnny Salam tercatat jelas. Beliau dihormati oleh akademisi lintas kampus, termasuk Prof. Bardah dari Universitas Diponegoro yang sangat menaruh hormat padanya. Namun yang paling membekas dari dirinya adalah keberanian moral: berani berdiri tegak saat banyak orang memilih diam, berani menjaga integritas saat yang lain tergoda jalan pintas, berani melawan arus meski harus berjalan sendirian.

Inilah warisan terbesar beliau kejujuran, integritas, dan keberanian akademik.

Kehilangan seorang guru selalu menghadirkan kehampaan yang dalam. Guru bukan hanya pengajar, melainkan penuntun jalan, cahaya di tengah kegelapan. Kehampaan itu kini saya rasakan, seakan ada salju jatuh di tanah tropis: dingin, asing, dan menusuk hingga ke tulang. Rindu itu membeku. Rindu yang tak lagi bisa disampaikan lewat tatap muka, hanya lewat doa dan tulisan.

Namun kehilangan ini juga mengajarkan: hidup begitu rapuh. Yang abadi bukan jasad, melainkan nilai dan keteladanan. Dr. Johnny memang pergi, tetapi ajarannya hidup di setiap mahasiswa yang menolak plagiarisme, di setiap akademisi yang menjaga integritas, di setiap percakapan tentang keberanian.

Sebagaimana Socrates yang melahirkan Plato, dan Plato melahirkan Aristoteles, seorang guru sejati tak hanya mengajarkan teori, tetapi mewariskan cara berpikir dan keberanian moral. Dr. Johnny adalah mata rantai pengetahuan itu di tanah Tadulako. Ia menegaskan bahwa hukum tanpa moral hanyalah tubuh tanpa jiwa.

Saya menutup tulisan ini dengan perasaan berlapis: duka karena kehilangan, rindu karena tak bisa lagi berbincang hangat dengannya, sekaligus syukur karena pernah belajar langsung dari seorang guru sejati. Kepergian beliau seperti daun gugur yang menyuburkan tanah. Nilai, cinta, dan keteladanan beliau kini menjadi pupuk bagi generasi berikutnya.

Sesungguhnya, tiada kematian dalam arti sejati. Tubuh kembali ke tanah, tetapi ilmu, semangat, dan kebaikan tetap hidup. Dr. Johnny bukan hilang, melainkan bertransformasi dari sosok guru yang sabar di kelas menjadi kenangan abadi, dari senyum hangatnya menjadi cahaya penuntun bagi kami.

Pak Johnny, engkau mungkin telah berpulang, tetapi semangatmu akan selalu menyala dalam diri kami, murid-muridmu. Selamat jalan, Pak Dr. Johnny Salam. Semoga Allah menempatkanmu di sisi terbaik. Kami akan menjaga api intelektual yang engkau nyalakan, agar tak padam ditelan gelap zaman.

Al-Fatihah.

Penulis: Rizaldy Alif Syahrial (Murid Pak Johny)


Comment As:

Comment (0)