
Anak Gemuk: Ancaman Kesehatan atau Cerminan Kemakmuran?
FOTO : ILUSTRASI (Dok/Thinkstockphotos/Kompas.com)
Oleh : Regita Gienanti Y. Lalusu, Israwati Pontoh, Masiti, Anik Wijayanti
(Magister Kesehatan Masyarakat, Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Palu 2025)
Dalam masyarakat, anak yang gemuk kerap menimbulkan perdebatan. Sebagian orang menganggapnya sebagai tanda kecukupan gizi dan kesehatan, sementara sebagian lainnya melihatnya sebagai ancaman kesehatan akibat risiko obesitas dan penyakit metabolik.
Kegemukan pada anak bukan hanya sekadar permasalahan fisik, tetapi juga mencakup aspek psikologis dan sosial. Penyebabnya bersifat multifaktorial, melibatkan faktor genetik, lingkungan, serta perilaku. Konsumsi makanan tinggi kalori namun rendah gizi, serta gaya hidup minim aktivitas fisik, menjadi penyebab utama.
Dampak kesehatan akibat kegemukan tidak bisa diabaikan. Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono, menegaskan bahwa di balik kesan lucu dan menggemaskan anak yang obesitas, terdapat risiko serius berupa sindrom metabolik yang dapat berujung pada penyakit jantung koroner, stroke, dan gangguan pembuluh darah. “Jika kita membiarkan anak-anak tetap gemuk, maka kita menyimpan tabungan penyakit jantung dan pembuluh darah di masa depan,” ujar Prof. Dante dalam acara Multi-Stakeholders Dialogue Peringatan Hari Obesitas Sedunia 2024 di Jakarta.
Obesitas kini menjadi masalah global, termasuk di Indonesia. Data Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas mencapai 19,7% pada anak usia 5-12 tahun dan 16% pada anak usia 13-15 tahun, angka yang hampir stagnan dibandingkan Riset Kesehatan Dasar 2018.
Peran keluarga sangat penting dalam mencegah kegemukan pada anak. Orang tua harus menjadi teladan dengan menerapkan pola makan sehat, membatasi konsumsi makanan tinggi kalori, serta mendorong anak untuk berolahraga. Selain itu, sekolah juga memiliki tanggung jawab dalam memberikan edukasi gizi dan menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat.
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Edukasi melalui media sosial dapat menjadi sarana efektif bagi orang tua untuk memahami pola makan dan gaya hidup sehat bagi anak-anak mereka. Namun, jika anak sudah mengalami kegemukan, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup pengaturan pola makan, peningkatan aktivitas fisik, serta dukungan psikologis guna mengatasi dampak mental akibat stigma sosial atau perundungan.
Tantangan di era digital semakin besar. Fenomena konten mukbang yang mempromosikan konsumsi makanan berkalori tinggi semakin mempengaruhi kebiasaan makan anak-anak. Jika pola ini terus berlanjut, dalam 20 hingga 30 tahun ke depan, Indonesia berpotensi menghadapi krisis kesehatan akibat lonjakan kasus obesitas dan penyakit degeneratif.
Diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan orang tua, sekolah, komunitas, dan pemerintah untuk menekan prevalensi kegemukan pada anak. Dengan langkah preventif sejak dini, anak-anak Indonesia dapat tumbuh lebih sehat dan memiliki masa depan yang lebih baik.